Sabtu, 07 April 2012

Wanprestasi



Wanprestasi 
Posting by :Muhamad Nugraha SH.i /President Director (direktur utama)Bmt Mirla




Secara sederhana, wanprestasi atau ingkar janji atau cidera janji dirumuskan selain sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut yang diperjanjikan, juga menunjuk kepada ketiadaan pelaksanaan prestasi oleh salah satu pihak dalam perjanjian. Ketiadaan prestasi ini bisa terwujud dalam beberapa bentuk, seperti berikut :

a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali;

b. Terlambat dalam memenuhi prestasi;

c. Berprestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya.

Dari bentuk-bentuk wanprestasi tersebut kadang-kadang menimbulkan keraguan pada waktu mana debitur tidak memenuhi prestasi, apakah termasuk tidak memenuhi prestasi sama sekali atau terlambat dalam memenuhi prestasi. Apakah debitur sudah tidak mampu memenuhi prestasinya maka hal ini termasuk pada yang pertama, tetapi apabila debitur masih mampu memenuhi prestasi, ia dianggap sebagai terlambat dalam memenuhi prestasi. Bentuk ketiga adalah jika debitur memenuhi prestasinya tetapi tidak sebagaimana mestinya atau keliru dalam memenuhi prestasinya, apabila prestasinya masih dapat diharapkan untuk diperbaiki maka ia dianggap terlambat tetapi jika tidak dapat diperbaiki lagi maka ia sudah dianggap sama sekali tidak memenuhi prestasi.

Pertanyaan yang sering kali timbul dalam praktek adalah sejak kapan debitur dianggap telah melakukan wanprestasi? Ini penting dipersoalkan karena wanprestasi mempunyai akibat hukum yang penting bagi debitur.

Untuk mengetahui sejak kapan debitur itu wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perjanjian itu ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak.

Dalam hal tenggang waktu yang tidak ditentukan maka diperlukan suatu tindakan hukum dari bank berupa teguran atau somasi kepada debitur. Somasi ini dimaksudkan untuk teguran bahwa debitur telah lalai memenuhi prestasi dan karenanya ia diingatkan agar dalam tenggang waktu tertentu (disebutkan dalam somasi), debitur harus segera melaksanakan prestasinya. Ketidak taatan debitur dalam memenuhi prestasinya sesuai tanggal yang ditentukan dalam somasi, maka dalam hal ini debitur telah dinyatakan wanprestasi (Muhammad, 1992 : 22). Sebaliknya jika dalam perjanjian ditentukan dengan jelas tenggang waktu pemenuhan prestasi, maka menurut Pasal 1238 KUH Perdata, debitur dianggap telah wanprestasi dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

Praktek baik perbankan yang patut diapresiasi pada saat ini adalah walaupun umumnya masalah wanprestasi telah diatur tenggang waktunya dalam perjanjian kredit, tetapi bank tetap membuat somasi kepada debitur untuk menegaskan bahwa debitur telah benar-benar wanprestasi. Hal baik ini dilaksanakan untuk member penegasan yang setegas-tegasnya tentang kapan waktu si debitur mulai wanprestasi. Ini penting karena berkaitan dengan upaya-upaya bank dalam menentukan formula tindakannya kepada debitur.


Lalu apa akibat hukumnya jika debitur wanprestasi? Akibat hukum bagi debitur dalam hal ia melakukan wanprestasi adalah terkena hukuman atau sanksi-sanksi, yang oleh hukum telah mengatur hal ini. Sanksi-sanksi hukum itu, antara lain adalah :

a. Debitur diharuskan membayar ganti rugi yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata).

b. Debitur diwajibkan membayar biaya perkara di pengadilan, apabila karena wanprestasinya itu sampai kepada pengadilan (Pasal 181 ayat 1 HIR).

c. Debitur wajib memenuhi perjanjian disertai pembayaran ganti rugi (Pasal 1267 KUH Perdata).

Diposkan oleh Raimond Flora Lamandasa pada hari Rabu, Januari 07, 2009 0 komentar Link ke posting ini Label: Seri Perjanjian

Berakhirnya Perjanjian oleh Raimond F. Lamandasa, SH, MKn

Hapusnya perjanjian adalah berbeda dengan hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat saja hapus sedangkan perjanjiannya yang merupakan salah satu sumbernya masih tetap ada.

Perikatan jual beli misalnya, dimana didalamnya terkandung dua prestasi perikatan yaitu perikatan untuk membayar dan perikatan untuk menyerahkan barang (levering). Dengan dibayarnya harga jual beli, maka perikatan untuk membayar menjadi hapus. Tetapi hal tersebut belum menghapuskan perjanjian karena masih ada satu perikatan lagi yang belum dilakukan yaitu perikatan untuk menyerahkan barang. Jadi perjanjian akan berakhir jika bermacam-macam perikatan yang terdapat dalam perjanjian itu telah dilaksanakan.

Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan sepuluh macam alasan yang menyebabkan perikatan-perikatan dalam suatu perjanjian berakhir. Ke-sepuluh hal tersebut adalah :

a. karena pembayaran

b. karena penawaran pembayaran tunai disertai penitipan

c. karena pembaharuan hutang

d. karena perjumpaan hutang atau konpensasi

e. karena percampuran hutang

f. karena pembebasan hutang

g. karena musnahnya barang yang terhutang

h. karena kebatalan atau pembatalan

i. karena berlakunya syarat-syarat batal

j. karena kedaluwarsa (verjaring)

Sedangkan menurut Setiawan (1999 : 69), suatu perjanjian dapat berakhir disebabkan karena hal-hal sebagai berikut :

a. Ditentukan dalam perjanjian yang dilakukan oleh para pihak.

b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian, contohnya ketentuan pasal 1066 ayat 3 jo ayat 4 KUH Perdata dimana perjanjian untuk tidak mengadakan pemecahan harta oleh ahli waris hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu 5 tahun.

c. Para pihak atau Undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan hapus, contoh perjanjian pemberian kuasa, akan hapus dengan meninggalnya salah satu pihak (pasal 1813 KUH Perdata).

d. Pernyataan menghentikan perjanjian. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh kedua belah pihak untuk perjanjian-perjanjian bersifat sementara, seperti perjanjian kerja dan atau perjanjian sewa-menyewa.

e. Perjanjian hapus karena putusan hakim.

f. Karena tujuan dari perjanjian itu telah tercapai.

g. Dengan persetujuan para pihak.

Diposkan oleh Raimond Flora Lamandasa pada hari Rabu, Januari 07, 2009 0 komentar Link ke posting ini Label: Seri Perjanjian

Sahnya suatu Perjanjian oleh Raimond F. Lamandasa, SH, MKn

Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Pasal 1320 KUH Perdata merumuskan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian. Keempat syarat tersebut adalah :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. Sesuatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

Syarat pertama dan kedua dikualifisir sebagai syarat-syarat subjektif karena berhubungan dengan subjek perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena berhubungan dengan objek perjanjiannya. Jadi sahnya suatu perjanjian haruslah memenuhi unsur-unsur subjektif dan objektif seperti tersebut di atas.

a. Sepakat.

Sepakat diartikan sebagai pernyataan kehendak menyetujui, seia-sekata atau persesuaian kehendak dari kedua subyek mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain, mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik.

Dalam kata sepakat ini, para pihak harus mempunyai kebebasan kehendak. Artinya dalam mencapai atau menentukan kata sepakat tersebut para pihak tidak boleh mendapatkan sesuatu tekanan, yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut.


Menurut Pasal 1321 KUH Perdata, ada tiga hal yang menyebabkan cacat kehendak dalam suatu perjanjian. Ketiga hal tersebut terlihat dalam rumusan pasalnya sebagai berikut “tiada kata sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.

Selain karena kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang) ataupun penipuan (bedrog), belakangan ini juga berkembang faham bahwa cacat kehendak juga bisa terjadi dalam hal penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).


Penyalahgunaan keadaan berlatar belakang ketidak seimbangan keadaan mengenai keunggulan pihak yang satu terhadap yang lain. Dalam perkembangannya, penyalahgunaan keadaan ini bisa berwujud dalam hal keunggulan ekonomi, ataupun keunggulan kejiwaan, sehingga dengan keunggulan ini jika disalahgunakan oleh salah satu pihak akan melahirkan penyalahgunaan keadaan (Widyadharma, 1995 : 17).

Menurut Nieuwenhuis dalam Panggabean (2001 : 40), penyalahgunaan keadaan dapat terjadi jika memenuhi empat syarat, sebagai berikut :

1) Keadaan-keadaan istimewa (bijzondere omstandigheden), seperti keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras dan tidak berpengalaman.

2) Suatu hal yang nyata (kenbaarheid), disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain karena keadaan istimewa tergerak hatinya unuk menutup suatu perjanjian.

3) Penyalahgunaan (misbruik), salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun dia mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya.

4) Hubungan kausal (causaal verband), adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu maka perjanjian itu tidak akan ditutup.

Penyalahgunaan keadaan itu berhubungan dengan terjadinya perjanjian, yang menyangkut keadaan-keadaan yang berperan untuk terjadinya suatu perjanjian dimana memanfaatkan keadaan orang lain sedemikian rupa untuk membuat perjanjian itu disepakati.

b. Cakap

Orang yang membuat perjanjian itu harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil-baliq dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Pasal 1330 KUH Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :

1). Orang-orang yang belum dewasa;

2). Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

3). Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

KUH Perdata menyatakan bahwa orang-orang yang belum dewasa adalah orang-orang yang belum berumur 21 tahun dan / atau tidak telah menikah. Secara a contrario, Satrio (1995 : 5) menyimpulkan bahwa dewasa adalah mereka yang :

1) telah berumur 21 tahun; dan

2) telah menikah, termasuk mereka yang belum berusia 21 tahun tetapi telah menikah.

Orang didalam pengampuan juga termasuk tidak cakap. Tetapi tentang pengampuan atau curatele ini harus diingat bahwa curatele tidak pernah terjadi demi hukum, tetapi selalu harus didasarkan atas permohonan (sesuai Pasal 434 sampai dengan Pasal 445 KUH Perdata) dan ia baru mulai berlaku sejak ada ketetapan pengadilan atas permohonan itu (Pasal 446 KUH Perdata). Satrio menegaskan bahwa orang yang dapat ditaruh dibawah pengampuan, disebabkan karena :

1) Gila (sakit otak), dungu (onnoozelheid), mata gelap (rezernij);

2) Lemah akal (zwakheid van vermogens); dan

3) Pemborosan (Satrio, 1995 : 5).

Sedangkan ketidak-cakapan perempuan yang telah bersuami, sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, harus dilihat dulu apakah ada perjanjian kawin atau tidak. Jika terdapat perjanjian kawin yang isinya tidak ada percampuran harta sama sekali, maka ketentuan bahwa isteri tidak cakap melakukan perbuatan hukum tidak berlaku lagi. Lain halnya jika tidak ada perjanjian kawin maka demi hukum telah terjadi percampuran harta bulat, sehingga dengan ini, segala perbuatan hukum apapun sepanjang berkonsekuensi terhadap harta dalam perkawinan, isteri harus mendapatkan persetujuan dari suaminya, atau demikian sebaliknya.

c. Suatu hal tertentu

Hal tertentu artinya adalah objek perjanjian itu sendiri, yaitu apa yang diperjanjikan. Hak-hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian itu harus jelas disebutkan di dalamnya. Pasal 1333 KUH Perdata menyebutkan bahwa :

“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.

Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

d. Sebab yang halal

Sebab yang halal bukan berarti sesuatu hal yang menyebakan perjanjian itu dibuat, tetapi menunjuk kepada pokok atau substansi dari apa yang diperjanjikan itu harus halal adanya. Hukum perjanjian tidak mempermasalahkan motivasi apa yang mencetuskan pembuatan perjanjian, tetapi kepada substansi atau isi daripada perjanjian itu.

Konsekuensi dari tidak terpenuhinya salah satu atau kedua syarat subjektif maka perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar atau voidable). Dalam hal ini salah satu pihak dapat memohonkan pembatalan perjanjian kepada hakim di pengadilan negeri. Sepanjang perjanjian itu tidak dibatalkan oleh hakim, maka menurut Subekti, perjanjian itu tetap mengikat para pihak, sepanjang ada kesediaan para pihak (Subekti, 1990 : 20).

Sedangkan jika salah satu atau kedua syarat ojektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum (nietig atau null and void). Artinya bahwa demi hukum, perjanjian itu tidak pernah lahir dan tidak pernah ada suatu perikatan apapun.

Diposkan oleh Raimond Flora Lamandasa pada hari Rabu, Januari 07, 2009 1 komentar Link ke posting ini Label: Seri Perjanjian

Perjanjian dan Perikatan oleh Raimond F. Lamandasa, SH, MKn

Pengertian Perjanjian dan Perikatan

Pengaturan tentang hukum perjanjian di Indonesia terdapat dalam Buku III Bab Kedua, Bagian Kesatu sampai dengan Bagian Keempat Kitab Undang-undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUH Perdata) dibawah titel Tentang Perikatan, mulai dari pasal 1233 sampai dengan pasal 1864.

Kata “perjanjian” dan “perikatan” merupakan dua istilah yang dikenal dalam KUH Perdata. Pasal 1313 KUH Perdata, memberikan definisi bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Sedangkan tentang perikatan, sekalipun dalam KUH Perdata tidak secara tegas mendefinisikannya, tetapi dalam pasal 1233 KUH Perdata dinyatakan bahwa perikatan, selain lahir dari Undang-undang, juga karena perjanjian. Dengan demikian suatu perikatan belum tentu merupakan perjanjian, sedangkan suatu perjanjian sudah pasti merupakan suatu perikatan.

Definisi perjanjian sebagaimana pasal 1313 KUH Perdata tersebut mendapatkan tanggapan beragam dari para sarjana hukum kita. Sofwan (1980 : 1), menyatakan bahwa definisi itu kurang lengkap lagipula terlalu luas. Kurang lengkap karena yang dirumuskan dalam pasal itu hanya perjanjian sepihak saja, dimana hanya menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi salah satu pihak saja, tetapi tidak meliputi perjanjian timbal balik dimana para pihak saling mengikatkan diri untuk timbulnya hak dan kewajiban bagi para pihak. Terlalu luas karena mencakup pula hal-hal mengenai pelangsungan perkawinan, membuat janji kawin dan perbuatan-perbuatan semacam itu yang diatur dalam lapangan hukum keluarga, sedangkan pengertian perjanjian yang dimaksud dalam buku III ini adalah perjanjian di dalam lapangan hukum harta kekayaan antara dua belah pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban.

Berusaha melengkapi definisi perjanjian yang terdapat pada pasal 1313 KUH Perdata, Setiawan (1999 : 49), mengemukakan pendapatnya bahwa :

a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum;

b. Perlu ditambahkan dengan kata-kata “atau saling mengikatkan dirinya” dalam pasal 1313 KUH Perdata;

sehingga dengan saran tersebut ia memberi definisi perjanjian adalah “suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Mertokusumo (2005 : 118) memberikan perumusan bahwa “perjanjian adalah hubungan hukum antara dua orang yang bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”

Definisi yang lebih jelas dan tidak semata menekankan pada subjeknya adalah yang dikemukakan oleh Subekti, dimana Ia memberikan perumusan bahwa, “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.” (Subekti, 1990 : 1).

Senada dengan Subekti, lebih jauh beberapa sarjana memberikan penekanan pada ruang lingkupnya yang berada di dalam lapangan hukum harta benda/kekayaan.

Prodjodikoro (2000 : 4) merumuskan bahwa “perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.”

Harahap (1986 : 6) merumuskan bahwa “perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.

Pendapat yang justru menyamakan pengertian perjanjian dan perikatan adalah Muljadi. Dengan menggunakan istilah perikatan, ia memberikan penjelasan, bahwa perikatan sebagai peraturan yang mengatur mengenai hubungan hukum antara subjek hukum dengan subjek hukum yang melahirkan kewajiban pada salah satu subjek hukum dalam perikatan tersebut. Adanya kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum perikatan tersebut akan melahirkan hak pada pihak lainnya dalam hubungan hukum perikatan tersebut (Muljadi, 2004 : 10).

Sedangkan Satrio (2001 : 1) mengatakan bahwa perikatan dalam arti luas meliputi semua hubungan hukum antara dua pihak, dimana disatu pihak ada hak dan dilain pihak ada kewajiban didalamnya termasuk semua hubungan hukum yang muncul dari hubungan hukum dalam lapangan hukum keluarga dan hukum acara.

Dari beberapa perumusan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa hakekat perjanjian dan perikatan pada dasarnya adalah sama yaitu keduanya merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang diikat didalamnya, namun pengertian perikatan jauh lebih luas dari perjanjian sebab hubungan hukum yang ada dalam perikatan munculnya tidak hanya dari perjanjian tetapi juga dari Undang-undang.

Perbedaan lain dari keduanya adalah bahwa perjanjian pada hakekatnya mengikat para pihak berdasar pada kesepakatan (kata sepakat) diantara mereka, sedangkan perikatan selain mengikat karena adanya kesepakatan juga mengikat karena diwajibkan oleh Undang-undang.

Dengan demikian keduanya juga berbeda dari konsekuensi hukumnya. Pada perjanjian, oleh karena dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak maka tidak dipenuhinya prestasi dalam perjanjian akan menimbulkan ingkar janji (wanprestasi), sedangkan tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam perikatan menimbulkan konsekuensi hukum sebagai perbuatan melawan hukum.

Diposkan oleh Raimond Flora Lamandasa pada hari Rabu, Januari 07, 2009 0 komentar Link ke posting ini Label: Seri Perjanjian

Posting oleh: Muhamad Nugraha SH.i

1 komentar:

bulanpurnama mengatakan...

bagus banget artikelnya,,
tapi fakta lapangannya agak susah juga nanganin debitur yang wanprestasi, ada solusi n tipsnya ga..??

Posting Komentar

 
Design by Agung Taufan Sofyana